Kamis, 29 Maret 2012

TUGAS KEORGANISASIAN

NAMA : PUSPITA KARTIKA SARI
KELAS : 2EA17
NPM : 19210672

DAMPAK KONFLIK

Pada dasarnya, setiap organisasi sekolah mempunyai potensi munculnya konflik dikarenakan adanya perbedaan individu, organisasi dan lingkungan (Depdiknas, 2000:210). Senada dengan itu Wahyudi dan Akdon (2005:34) menyatakan konflik dapat terjadi dalam berbagai situasi kerja organisasi. Namun demikian, dalam kondisi-kondisi tertentu konflik tidak terasakan. Kondisi seperti ini menunjukkan adanya stagnasi dalam tubuh organisasi. Jika kondisi “stagnan” ini tidak dikelola maka konflik dapat meningkat menjadi siklus-siklus konflik destruktif, seperti gambar berikut ini :
Siklus Konflik yang Buruk
SIKLUS KONFLIK DESTRUKTIF
Dari gambar terlihat konflik yang tidak terkelola, akan terus bersiklus sehingga “mengganggu” roda organisasi. Hasil akhir pada setiap siklus konflik destruktif adalah “kalah-kalah” dan selanjutnya menjadi pemicu untuk menjadi konflik baru yang dimulai dengan perlawanan laten. Dan seterusnya akan berlanjut jika konflik tidak dikelola dengan benar. Karenanya untuk menhindari hasil yang destruktif ”kalah-kalah maka dibutuhkan pengelolaan konflik. Hasil dari suatu konflik yang terkelola terlihat pada gambar berikut :

siklus Konflik Terkelola
Agar konflik laten dapat dikelola dibutuhkan stimulus agar konflik dapat dirasakan, sehingga dapat dikelola menjadi fungsional. Vliert dalam tulisan yang berjudul Escalative Intervention in Small-Group Conflicts (Robins, 2001:121), menyatakan manfaat menstimulasi konflik yakni:
1) Konflik dapat dijadikan alat yang efektif untuk melakukan perubahan “radikal” terhadap struktur kekuasaan yang ada, pola interaksi yang sudah berjalan, dan sikap yang sudah mengakar;
2) Konflik dapat mempermudah keterpaduan, dan efektifitas kelompok; dan
3) Konflik menimbulkan ketegangan yang sedikit lebih tinggi dan konstruktif.
Sedangkan dalam konteks persekolahan, dampak positif konflik dapat berupa : (1) memunculkan rasa ketidakpuasan yang selama ini tersembunyi sehingga organisasi sekolah dapat melakukan penyesuaian, (2) mendinamisasikan suatu organisasi sekolah, sehingga tidak berjalan sebagai suatu rutinitas dan statis (Depdiknas, 2000:207).

SUMBER KONFLIK
1. mengganggu dirinya.
2. Konflik yang mendahului (antecedent condition)
Tahap perubahan dari apa yang dirasakan secara tersembunyi yang belum mengganggu dirinya, kelompok atau organisasi secara keseluruhan, seperti timbulnya tujuan dan nilai yang berbeda, perbedaan peran dan sebagainya.
3. Konflik yang dapat diamati (perceived conflicts) dan konflik yang dapat dirasakan (felt conflict)
Muncul sebagai akibat antecedent condition yang tidak terselesaikan.
4. Konflik terlihat secara terwujud dalam perilaku (manifest behavior)
Upaya untuk mengantisipasi timbulnya Konflik Dalam Diri Individu (Intraindividual Conflict)
A. Konflik yang berkaitan dengan tujuan yang hendak dicapai (goal conflict)
Menurut Wijono (1993, pp.7-15), ada tiga jenis konflik yang berkaitan dengan tujuan yang hendak dicapai (goal conflict), yaitu:
1) Approach-approach conflict, dimana orang didorong untuk melakukan pendekatan positif terhadap dua persoalan atau lebih, tetapi tujuan-tujuan yang dicapai saling terpisah satu sama lain.
2) Approach-Avoidance Conflict, dimana orang didorong untuk melakukan pendekatan terhadap persoalan-persoalan yang mengacu pada satu tujuandan pada waktu yang sama didorong untuk melakukan terhadap persoalan-persoalan tersebut dan tujuannya dapat mengandung nilai positif dan negatif bagi orang yang mengalami konflik tersebut.
3) Avoidance-Avoidance Conflict, dimana orang didorong untuk menghindari dua atau lebih hal yang negatif tetapi tujuan-tujuan yang dicapai saling terpisah satu sama lain.
Dalam hal ini, approach-approach conflict merupakan jenis konflik yang mempunyai resiko paling kecil dan mudah diatasi, serta akibatnya tidak begitu fatal.

B. Konflik yang berkaitan dengan peran dan ambigius
Di dalam organisasi, konflik seringkali terjadi karena adanya perbedaan peran dan ambigius dalam tugas dan tanggung jawab terhadap sikap-sikap, nilai-nilai dan harapan-harapan yang telah ditetapkan dalam suatu organisasi.
Filley and House memberikan kesimpulan atas hasil penyelidikan kepustakaan mengenai konflik peran dalam organisasi, yang dicatat melalui indikasi-indikasi yang dipengaruhi oleh empat variabel pokok yaitu :
1) Mempunyai kesadaran akan terjadinya konflik peran.
2) Menerima kondisi dan situasi bila muncul konflik yang bisa membuat tekanan-tekanan dalam pekerjaan.
3) Memiliki kemampuan untuk mentolelir stres.
4) Memperkuat sikap/sifat pribadi lebih tahan dalam menghadapi konflik yang muncul dalam organisasi (Wijono, 1993, p.15).

Stevenin (2000, pp.132-133), ada beberapa faktor yang mendasari munculnya konflik antar pribadi dalam organisasi misalnya adanya:
1. Pemecahan masalah secara sederhana. Fokusnya tertuju pada penyelesaian masalah dan orang-orangnya tidak mendapatkan perhatian utama.
2. Penyesuaian/kompromi. Kedua pihak bersedia saling memberi dan menerima, namun tidak selalu langsung tertuju pada masalah yang sebenarnya.
Waspadailah masalah emosi yang tidak pernah disampaikan kepada manajer. Kadang-kadang kedua pihak tetap tidak puas.
3. Tidak sepakat. Tingkat konflik ini ditandai dengan pendapat yang diperdebatkan. Mengambil sikap menjaga jarak. Sebagai manajer, manajer perlu memanfaatkan dan menunjukkan aspek-aspek yang sehat dari ketidaksepakatan tanpa membiarkan adanya perpecahan dalam kelompok.
4. Kalah/menang. Ini adalah ketidaksepakatan yang disertai sikap bersaing yang amat kuat. Pada tingkat ini, sering kali pendapat dan gagasan orang lain kurang dihargai. Sebagian di antaranya akan melakukan berbagai macam cara untuk memenangkan pertarungan.
5. Pertarungan/penerbangan. Ini adalah konflik “penembak misterius”. Orang-orang yang terlibat di dalamnya saling menembak dari jarak dekat kemudian mundur untuk menyelamatkan diri. Bila amarah meledak, emosi pun menguasai akal sehat. Orang-orang saling berselisih.
6. Keras kepala. Ini adalah mentalitas “dengan caraku atau tidak sama sekali”.
Satu-satunya kasih karunia yang menyelamatkan dalam konflik ini adalah karena biasanya hal ini tetap mengacu pada pemikiran yang logis. Meskipun demikian, tidak ada kompromi sehingga tidak ada penyelesaian.
7. Penyangkalan. Ini adalah salah satu jenis konflik yang paling sulit diatasi karena tidak ada komunikasi secara terbuka dan terus-terang. Konflik hanya dipendam. Konflik yang tidak bisa diungkapkan adalah konflik yang tidak bisa diselesaikan 

PENGELOMPOKAN KONFLIK
Kalau kita mau jujur, tak ada kehidupan kelompok yang tak mengalami konflik di dalamnya, bahkan dalam kelompok yang terkecil sekalipun, seperti sebuah keluarga. Saya masih selalu ingat nasihat orang-orang tua saat saya hendak menikah dulu, bahwa membina sebuah keluarga, apalagi saat-saat awal, minimal 5 tahun pertama adalah periode yang sangat sulit. Saat-saat itu adalah saat-saat dua pribadi, dua ego, dari dua latar yang berbeda, berusaha untuk dipadu dalam satu rumah. Tentu akan muncul gejolak-gejolak konflik. Sebagian orang-orang tua bahkan menceritakan bahwa saat-saat berat seperti itu juga kadang berulang pada periode tertentu, setiap 7 tahun atau 10 tahun. Dan setelah saya menikah, nasihat orang-orang tua tersebut memang benar-benar nyata.

Kalau dalam kehidupan kelompok yang terkecil sekalipun konflik itu bisa muncul, terutama dalam periode awal pertaliannya, tidaklah aneh bahwa dalam kehidupan kelompok yang lebih besar, seperti partai politik, konflik tersebut akan muncul juga. Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) tidaklah imun dari hal yang amat natural tersebut. Apalagi PKB masih relatif baru, umurnya bahkan belum sampai 10 tahun. Partai yang seumur misalnya PAN juga mengalami hal serupa (PAN vs. Matahari Bangsa). Bahkan, partai yang usianya relatif lebih lama saja, seperti misalnya PDI-P dan PPP, juga mengalami hal itu (PDI-P vs. PDP, PPP vs. PBR).

Sebenarnya memang bukan konfliknya yang substansial dalam kehidupan berkelompok, karena konflik itu natural. Namun manajemen konflik itulah yang penting untuk dicarikan metode yang tepat, terutama manajemen konflik dalam partai politik. Dalam tradisi demokrasi yang lebih mapan, konflik internal dalam satu partai itu disalurkan misalnya lewat mengakui dan menerima adanya faksi-faksi politik, dan lewat tradisi 'challenge' untuk memilih pimpinan baru.

Tradisi faksi dalam partai politik

Sejak awal sebuah partai politik perlu sadar bahwa di dalam tubuhnya akan ada atau akan muncul aliran-aliran, kelompok-kelompok 'interest', atau apa pun yang lebih kecil. Meski secara umum semua aliran atau kelompok tersebut masih memiliki sebuah latar belakang atau tujuan besar yang mirip, dan oleh karenanya berkelompok dalam sebuah partai. Akan tetapi pengelompokan ke dalam grup yang lebih kecil tersebut tidak boleh diingkari. Dengan menyadari bahwa di dalam dirinya terdapat atau akan terdapat aliran dan kelompok-kelompok yang berbeda, partai politik tersebut perlu mengakui eksistensi dari 'faksi-faksi'. Faksi inilah yang merupakan bentuk pengelompokan dalam sebuah partai politik.

Faksi-faksi dalam sebuah partai politik sesungguhnya memang diperlukan. Kenapa? Karena dengan adanya faksi-faksi itulah sebuah partai politik akan selalu dinamis. Persinggungan di antara faksi-faksi ini akan menggerakkan sebuah partai dari kejumudan. Selain itu, dinamika ini sekaligus akan menjadi kontrol internal dari partai tersebut. Memang persinggungan itu akan menjadi faktor destruktif apabila tidak dapat dikelola. Namun mengingkari adanya faksi justru akan menjadi awal dari konflik internal yang berkepanjangan.

Tradisi 'challenge' untuk menyelesaikan perbedaan antar faksi

Dengan mengakui dan menerima adanya faksi-faksi politik dalam sebuah partai, maka selanjutnya perlu mekanisme bagaimana kepentingan faksi-faksi ini bisa diartikulasikan. Dalam tradisi yang lebih berkembang, perbedaan tersebut diakomodasi lewat tradisi seperti tradisi 'challenge'. Tradisi ini bebentuk upaya perebutan pimpinan partai lewat pemilihan ulang pimpinan partai di antara internal 'pimpinan partai' (party room). Siapa saja yang masuk dalam daftar party room dapat ditentukan oleh masing-masing partai, namun intinya jumlahnya tidak terlalu besar (sekitar seratusan). Dan yang paling penting dimasukkan di dalam party room ini adalah para pengurus partai dan anggota-anggota legislatif yang berasal dari partai tersebut pada tingkatannya (nasional atau lokal). Karena pada umumnya, perbedaan kepentingan itu muncul di antara mereka terlebih dahulu sebelum merambah lebih luas.

Memang, dalam tradisi kepartaian di Indonesia, hal terakhir ini biasa dilakukan lewat Muktamar Luar Biasa (MLB), Musyawarah Nasional Luar Biasa (Munaslub) atau apapun namanya. Namun proses tersebut selama ini sangat mahal karena melibatkan sangat banyak orang. Sampai-sampai ribuan orang ikut serta, dan bahkan membuat seperti sebuah pasar malam. Ia menguras tenaga, fikiran dan uang. Lebih dari itu, MLB atau Munaslub ini justru sering tidak melibatkan faksi-faksi yang berseberangan. Anggota-anggota legislatif dari partai tersebut sering justru tidak bisa ikut bersuara. Karena misalnya, setelah menjadi anggota DPR-RI dia bukan lagi pengurus harian partai baik di pusat maupun di daerah, sehingga tidak punya hak suara. Padahal dari antara merekalah banyak perbedaan kepentingan itu muncul.

Dengan kondisi seperti ini, MLB dan Munaslub pada akhirnya lebih mengecilkan arti aliran atau pengelompokan yang saling berbeda, bukan untuk menyadari dan menerimanya sebagai sebuah kenyataan. Sehingga, yang terjadi, setelah MLB, aliran atau kelompok yang tidak puas keluar dari partai dan tidak jarang membangun sebuah partai baru. Di sisi lain partai utama kemudian didominasi oleh kelompok para pemenang.

Perlu kesadaran demokrasi baru

Padahal bagaimanapun solidnya, perlu sekali lagi disadari bahwa pengelompokan merupakan sesuatu yang natural. Dan pada masanya akan muncul lagi baik di partai baru maupun di partai utama pengelompokan baru lagi yang akan berbeda kepentingan pula. Sebagai misal saja, di PBR yang tadinya menjadi rival PPP, kemudian muncul pula konflik antara Zaenuddin MZ vs. Zaenal Ma'arif lalu Zaenal Ma'arif vs. Bursah Zarnubi. Kalau kita tetap mengikuti cara yang selama ini terjadi, maka akan muncul terus banyak partai, dan partai yang makin lama makin kecil. Satu hal yang kurang sehat untuk kehidupan demokrasi dan bernegara.

Sebaliknya, kalau kita mulai sadar dan mau menerima kenyataan bahwa faksi-faksi politik merupakan keharusan dalam berkelompok, jalan akomodasi bisa ditempuh. Seperti juga dalam sebuah pernikahan, perlu adanya pengorbanan dari ego masing-masing dan menghormati pihak lain maka kalau metode manajemen konflik seperti ini bisa diterima, kehidupan berpartai akan bisa lebih langgeng. Kalau kepentingan beberapa aliran bisa diakomodasi maka setidaknya pihak-pihak yang berkonflik bisa sedikit tenang. Kalau pun nantinya harus melakukan 'challenge' pun, semua pihak baik yang akan menang atau pun yang akan kalah tetap siap, karena ada keyakinan bahwa berbagai pihak ini masih akan diakomodasi kepentingannya.

Partai Kebangkitan Bangsa memang telah mengalami banyak konfik internal. Dan sudah saatnya mencari metode manajeman konflik yang tepat agar tidak lagi konflik menjadi musibah, namun menjadi dinamika yang memacu partai ke depan dan menjadi kontrol awal yang baik dari dalam. Semoga dalam Simposium Nasional dan Mukernas tanggal 11 November yang lalu, upaya-upaya perbaikan partai di antaranya dengan mencari metode penyelesaian konflik yang cantik menjadi bahan bahasan yang membangun untuk PKB ke depan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar